Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) seharusnya menjadi sarana untuk memperkenalkan siswa pada gaya hidup sehat, mengajarkan pentingnya aktivitas fisik, dan menanamkan kebiasaan sehat seumur hidup. Namun, ada kecenderungan di mana pembelajaran PJOK cenderung berfokus pada penguasaan fisik dan keterampilan olahraga yang tinggi, sehingga mengakibatkan adanya praktik eksklusivitas di dalam kelas PJOK. Siswa yang tidak memiliki kemampuan fisik di atas rata-rata atau yang mengalami hambatan fisik sering kali merasa tersisih dan tidak nyaman dalam proses pembelajaran.

Baca juga : Student-Centered Learning

1. Pendidikan Jasmani vs. Pelatihan Olahraga

Salah satu penyebab munculnya eksklusivitas dalam PJOK adalah karena pemahaman yang salah bahwa pendidikan jasmani sama dengan pelatihan olahraga. Di klub-klub olahraga, siswa dikelompokkan berdasarkan keterampilan dan kemampuan fisik mereka. Mereka yang memiliki kemampuan yang lebih baik akan diperlakukan dengan lebih serius dan mendapat pelatihan yang lebih intensif. Sebaliknya, dalam kelas PJOK, siswa tidak dikelompokkan berdasarkan keterampilan, melainkan berdasarkan jenjang kelas, dan tidak ada klasifikasi keterampilan fisik yang ketat.

Baca juga : Miskonsepsi dalam Pendidikan Jasmani

Akibatnya, siswa yang memiliki kemampuan fisik yang rendah sering kali merasa kurang mampu dan cenderung tersisih. Siswa yang mengalami obesitas, disabilitas, atau kelemahan fisik bawaan bisa menjadi korban dari pemahaman yang sempit tentang apa itu olahraga. Fenomena ini, meskipun tidak secara eksplisit terjadi sebagai bentuk diskriminasi, membuat siswa merasa tidak dihargai atau tidak diterima dalam lingkungan olahraga.

2. Eksklusivitas dalam Pembelajaran PJOK

Secara umum, olahraga dipersepsikan sebagai sesuatu yang menuntut penampilan fisik dan keterampilan tinggi. Dalam wacana umum, seorang olahragawan digambarkan sebagai seseorang yang memiliki tubuh atletis dan keterampilan olahraga yang hebat. Ketika pandangan ini dibawa ke dalam kelas PJOK, maka siswa yang tidak memenuhi standar fisik tersebut akan merasa terasing.

Contoh-contoh tubuh yang kurus, kerdil, atau obesitas sering kali dianggap tidak ideal dalam dunia olahraga. Siswa dengan kondisi fisik tersebut dapat menjadi bahan candaan atau merasa tidak diterima, meskipun mungkin hal ini tidak disadari oleh guru maupun siswa lainnya. Hal ini semakin menegaskan praktik eksklusivitas di dalam pembelajaran PJOK yang lebih berorientasi pada fisik daripada pada aspek kesehatan dan kesejahteraan jangka panjang.

Baca juga : Strategi Pembelajaran Berdiferensiasi dalam PJOK

3. Dampak Terhadap Siswa dan Kesehatan Jangka Panjang

Praktik eksklusivitas ini berdampak besar terhadap siswa, baik secara fisik maupun mental. Banyak siswa yang merasa tidak nyaman untuk berpartisipasi dalam pembelajaran PJOK karena pengalaman mereka yang tidak menyenangkan. Pengalaman buruk ini dapat menyebabkan mereka enggan untuk terlibat dalam aktivitas fisik di masa depan, meskipun mereka tahu pentingnya olahraga untuk kesehatan.

Baca juga : Pendekatan Berbasis Aset dalam Pembelajaran PJOK

Siswa yang pernah menjadi korban eksklusivitas di kelas PJOK mungkin akan mengembangkan persepsi bahwa olahraga bukanlah dunia yang ramah bagi mereka. Hal ini dapat memengaruhi keputusan mereka untuk mengadopsi gaya hidup yang aktif. Banyak siswa yang akhirnya menghindari aktivitas fisik sama sekali karena mereka merasa tidak berbakat dalam olahraga atau karena mereka merasa tidak memenuhi standar fisik yang diharapkan.

Baca juga : Menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi dalam PJOK

4. Solusi untuk Pembelajaran PJOK yang Inklusif

Untuk mengatasi eksklusivitas dalam PJOK, guru harus menyadari bahwa tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan, bukan sekadar mengukur keterampilan fisik siswa. Beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain:

  • Mengadopsi Pembelajaran Berdiferensiasi: Guru PJOK dapat menggunakan pendekatan pembelajaran berdiferensiasi, yang memperhitungkan kebutuhan, minat, dan kemampuan fisik setiap siswa. Dengan demikian, siswa tidak akan merasa tersisih atau merasa bahwa mereka tidak layak berpartisipasi.
  • Fokus pada Gaya Hidup Sehat: Alih-alih hanya berfokus pada keterampilan fisik, PJOK harus menekankan pentingnya aktivitas fisik sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Siswa harus diajarkan bahwa aktivitas fisik adalah untuk semua orang, bukan hanya untuk mereka yang memiliki kemampuan fisik di atas rata-rata.
  • Mengurangi Fokus Kompetisi: Meskipun kompetisi dapat menjadi motivasi bagi sebagian siswa, terlalu banyak fokus pada kompetisi dapat memperkuat praktik eksklusivitas. Guru PJOK harus lebih fokus pada partisipasi aktif dan kerjasama, daripada hanya mengejar kemenangan.
  • Menciptakan Lingkungan yang Mendukung: Guru PJOK harus menciptakan lingkungan yang mendukung dan tidak menghakimi. Siswa harus merasa aman dan diterima, terlepas dari kondisi fisik mereka. Dalam hal ini, guru harus memastikan bahwa tidak ada siswa yang menjadi korban candaan atau olokan karena kondisi fisik mereka.

Baca juga : Menyesuaikan Pembelajaran PJOK dengan Karakteristik Perkembangan Peserta Didik

5. Kesimpulan

Pendidikan jasmani seharusnya menjadi sarana untuk membangun gaya hidup sehat dan aktif bagi semua siswa, tanpa memandang kemampuan fisik mereka. Praktik eksklusivitas yang terjadi di kelas PJOK dapat diatasi dengan pendekatan pembelajaran yang lebih inklusif dan berfokus pada kesejahteraan jangka panjang siswa. Dengan demikian, siswa akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik dan mengembangkan kebiasaan sehat yang akan mereka bawa sepanjang hidup mereka.

Sumber Data dan Kutipan:

  1. Zeigler, E. F. (2007). History and Status of American Physical Education and Educational Sport. Trafford Publishing.
  2. Bouchard, C., Blair, S. N., & Haskell, W. L. (2007). Physical Activity and Health. Human Kinetics.
  3. Lutan, R. (1997). “Pendidikan Jasmani dalam Perspektif Pendidikan,” dalam Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 3(2), 13-24.
  4. Siedentop, D. (2009). Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. McGraw-Hill.

Daftar Pustaka:

Bouchard, C., Blair, S. N., & Haskell, W. L. (2007). Physical Activity and Health. Human Kinetics.

Lutan, R. (1997). “Pendidikan Jasmani dalam Perspektif Pendidikan,” dalam Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 3(2), 13-24.

Siedentop, D. (2009). Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. McGraw-Hill.

Zeigler, E. F. (2007). History and Status of American Physical Education and Educational Sport. Trafford Publishing.